Peringatan Hari Ulang Tahun ke-267 kota Jogjakarta, tak terlepas dari kerajaan Mataram hingga adanya Perjanjian Giyanti. Dikutip dari situs resmi HUT Kota Jogja, hasil perjanjian Giyanti menetapkan bahwa kota Jogja lahir pada tanggal 13 Februari 1755. Kota Jogja merupakan perpecahan wilayah kerajaan Mataram yang terbagi menjadi dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Tahun ini kota Yogyakarta memasuki usia yang ke-267, sesuai dengan kalender Jawa.
Untuk memeriahkan hari jadi Kota Jogja yang ke-267, SMP Maria Immaculata mengadakan karnaval budaya nusantara dilanjutkan dengan festival angkringan. Karnaval diikuti oleh anak-anak kelas VII, VIII, IX, serta Suster Kepala Sekolah, Bapak/Ibu Guru, dan Karyawan. Dengan mengenakan pakaian adat nusantara dari Sabang sampai Merauke, mereka begitu antusias dan penuh keceriaan dalam melaksanakan karnaval dengan rute kurang lebih 5 kilometer. Dimulai dari Taman Parkir Senopati, Jalan Suryotomo, Kantor DPRD Yogyakarta, Jalan Malioboro, Titik 0, Alun-alun Utara, Jalan Ibu Ruswo, dan Kembali ke sekolah. Karnaval menampilkan Drum Band Immaculata, Tonti, Pramuka, Tari, dan beragam jenis ekstrakurikuler di SMP Maria Immaculata (Basket, Futsal, Tae Kwondo, dll.
Seusai karnaval, mereka segera beristirahat dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan Festival Angkringan. Gotong royong dan kebersamaan mewarnai aktivitas para warga sekolah. Setiap kelas berlomba menampilkan makanan dan minuman yang merupakan ciri khas angkringan Jogja. Sega kucing, sate usus, sate telur puyuh, mendoan, baceman, wedang jahe, seruni, dll. Cukup menggoda selera yang melihatnya. Dengan segala upaya anak-anak menghias meja angkringan kelasnya supaya menarik dewan juri untuk memberikan nilai yang lebih. Suster Kepala Sekolah, Bapak Dody Darmawan selaku Wakil Kepala Sekolah, dan Ibu Hertati (guru BK), bertugas menjadi dewan juri Festival Angkringan tersebut. Diambil satu juara setiap paralelnya. Dari hasil penilaian, yang menjadi juara Festival Angkringan tersebut adalah kelas VII dari kelas VII C, kelas VIII dari kelas VIII C, dan kelas IX dari kelas IX D.
Pada akhir acara, Bapak Ibu Guru tidak kalah semangatnya untuk menampilkan kebolehannya berjoged menghibur semua warga sekolah. Itu semata-mata untuk menghibur dan menghidupkan suasana supaya anak-anak tidak jenuh, dan memberikan kesan juga bahwa guru tidak selalu “kaku” dan “saklek”. Begitu bukan?
“Gumregah Sengguh Ora Mingkuh Nguri Uri Kabudayan”
“Tatag, Teteg, Tutug” (Tan-23)